Selasa, 15 September 2015

Cerpen-fiksi



Menjadi Diriku

Hari minggu adalah hari favoritku, mungkin juga hari favorit untuk semua manusia di bumi ini. Hari minggu adalah hari balas dendam, aku bisa tidur berjam-jam lamanya menumpahkan lelah dan penat selama enam hari yang selalu berkutat dengan soal-soal UAN,UAS, dan SBMPTN. Setahun belakangan aku bersahabat dengan kawanan soal matematika, bahasa inggris, bahasa indonesia, dan teman-teman sejenisnya. Sedangkan komik-komikku dikarantina oleh Bunda, tidak boleh baca komik, tidak boleh beli komik, uang saku Bunda batasi, fokus pada pelajaran dan ujian, begitu kata-kata tegas Bunda yang masih terngiang satu tahun yang lalu. Cinta pertamaku, Ayah, menggelengkan kepala ketika aku meminta uang saku tambahan. Ayah sudah satu suara dengan Bunda untuk masalah kedisiplinan.


Tapi aku tidak kehabisan akal, aku menumpang baca di toko buku. Tak jarang aku membuka segel plastik dikomik yang baru terbit, tapi tak jarang juga aku diusir secara tidak langsung oleh penjaga toko buku, aku sampai hafal shift jaga spap karyawan di toko itu. Komik adalah pelarianku dari jenuhnya soal-soal ujian, dengan membaca komik aku seperti masuk kedunia lain, dunia fantasi yang membuatku lupa akan semua beban ini. Setelah dari toko buku, aku merebahkan diriku di kamar.


Kamarku, tidak lebih baik dari gudang. Eca adik lelakiku yang hanya beda satu tahun, tak akan pernah mau masuk ke kamarku karena penuh dengan lautan buku pelajaran. Dia selalu mencibir dan memandang rendah kakaknya seakan-akan harga diri seseorang ditentukan oleh kerapihan dan kebersihan kamarnya. Berbeda jauh dari kamarku, kamarnya Eca rapi bersih seperti minimarket. Barang-barang, baju, dan buku dipajang rapi pada tempatnya. Entah mengapa kamarnya juga wangi dan sejuk, aku curiga setiap dua jam sekali Eca selalu menyapu dan mengepel lantai kamarnya. Aku, mungkin setiap dua tahun sekali aku membersihkan kamar. Bila tak ada seorang pun yang mau masuk ke kamarku tak apa, itu duniaku. Bunda mau ngomel dari subuh sampai isya menyuruhku merapikan kamar, tak akan ku kerjakan. Pernah suatu ketika Bunda sendiri yang merapikan kamarku, tapi tidak sampai 1x24 jam kamarku berantakan lagi seperti seharusnya. Mungkin ini suatu bentuk protes kepada Bunda karena menyita komikku dan membatasi uang sakuku.


Eca mewarisi kedisiplinan dan kerapihan dari Bunda, aku menuruni sikap cueknya Ayah. Eca yang manja, Bunda yang tegas, Ayah yang cuek.  Walau begitu aku tetap mencintai keluarga ini. Eca yang selalu memandangku sebelah mata, memasang tulisan di depan pintu kamarnya. “ Semua boleh masuk, kecuali Kakak!!!” Apakah aku sebegitu liarnyakah sampai-sampai dilarang masuk ke kamar Eca. “Karena apa yang kakak sentuh akan berantakan, apa yang kakak lewati akan berjatuhan”, Itu kata Eca.


Iya juga sih, aku tak ada bakat untuk jadi orang yang diam tidak bergerak sama sekali, kecuali ketika tidur. Pernah suatu kelas X (sepuluh), ada praktikum di lab kimia. Entah mengapa aku menginjak pipet kelompok sebelah, memecahkan gelas praktikum, menumpahkan spirtus, dan hampir membakar lab tersebut. Semua siswa panik keluar lab, dan membuat gaduh satu sekolah. Semenjak kejadian itu aku menjadi terkenal, terkenal karena kecerobohanku. Bunda mengganti semua kerugian, dan Ayah masih membaca koran paginya. Alhasil aku masuk jurusan IPS yang steril dari segala bentuk praktikum di lab.


Pernah juga pada suatu sore, Eca sedang mengikuti eskul basket tiba-tiba bolanya menggelinding ke arahku, yang kebetulan sedang melewati lapangan mau pulang sehabis belajar kelompok. Maksud hati ingin menggembalikan bola ke arah Eca yang hanya berjarak dua meter, tapi tanganku licin dan bola mengenai motor yang sedang terparkir rapi di pinggir lapangan. “Brukk” bola mengenai satu motor, kemudian motor itu jatuh dan menimbulkan efek domino pada sepuluh motor lainnya. Aku mati kutu. Tak henti-hentinya aku meminta maaf pada teman-temannya Eca yang kebanyakan adalah laki-laki, sambil mendirikan motor-motor berat itu.


Aku malu sekali, rasanya seperti sedang maju ke depan kelas, menjawab soal matematika sederhana seperti 1 + 1 = dan aku malah menjawabnya dengan angka 3. Ada yang menertawaiku, adanya yang bilang aku sangat bodoh, ada yang berbisik “mungkin dia lelah”, Pak guru juga menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda kecewa berat padaku. Tapi kemudian ada juga seorang baik hati yang maju ke depan kelas, menghapus jawabanku, dan membantu mengoreksi jawabanku dengan menulis angka 2.


“Terima kasih banyak Dika, maaf ya jadi ngerepotin. Aku ceroboh banget, melempar bola saja tidak bisa,” kataku dengan sangat menyesal. “Santai aja.. anak basket orangnya asik-asik koq,”kata Dika tersenyum menyenangkan.

Matahari tersenyum cerah
Langit pun mendulang mendung terarah
Dedaunan mengangguk mengiyakan dunia
Kala anak manusia berlari dan tertawa
Menyambut masa remaja yang begitu indah               (siluet senja)

Dan sekarang, tak terasa aku sudah berada di penghujung SMA. Semua ujian sudah kulewati dengan penuh perjuangan, sampai-sampai berat badan ku turun 7kg, bahkan dua minggu sebelum UAN aku masuk RS karena tipes. Alhamdulillah semua perjuangan ku berbuah manis, aku lulus UAN dan UAS, tinggal menunggu hasil SBMPTN yang belum keluar.


Jadwal kelas ku sekarang adalah sesi pemotretan untuk buku tahunan. Kami sekelas sedang berada di rumah Dika yang luas. Kami meminjam halaman belakang rumahnya yang cocok dengan tema kelas kami, yaitu “garden party”. Kami juga menyewa fotografi profesional agar hasil fotonya memuaskan. “Nanti yang gemuk bisa jadi kurus, yang kurus bisa jadi gemuk, yang jelek bisa jadi cakep, yang cakep bisa jadi jelek, tergantung permintaan aja,”katanya promosi.


Untuk kostum dan make up diserahkan kepada masing-masing siswa. Aku menggunakan gamis brukat pink punya Bunda yang baru dibeli lebaran kemarin, dan dipadu dengan jilbab merah muda terang motif polkadot.


Di kejauhan Dika sedang bicara dengan wanita yang sangat cantik, teman-teman perempuanku melihatnya juga, dan kami pun bergosip ria.

“Siapa sih perempuan yang lagi ngobrol sama Dika, cantik banget,”tanya Puspa penasaran.

“Itu Ibunya Dika tau, aku pernah ketemu waktu pembagian rapor kelas XI (sebelas),”jawab Anna. 

Kami ber “O” ria tanda mengerti.

“Ibunya Dika tuh kuliah S2 dan S3 di Kanada, semuanya dengan beasiswa loh, hebat banget yah,”kata Uci menambahkan.

“Sudah usia segitu masih cantik, bodynya juga ga kalah sama artis dan model, berapa ya biaya perawatannya, “kata Lily kagum sambil terus memakan keripik kentang yang terus dimakannya sedari tadi tak habis-habis.

“Hello..wajar cantik dia kan wanita karir jadi harus tampil cantik di depan publik keleus,”tambah Dewi.


Tiba-tiba Ibunya Dika datang ke tempat kami duduk, kami pun pura-pura sibuk ber-make up. Ketika menghampiri, tercium aroma lembut parfum dari jarak satu meter.

“Selamat pagi gadis-gadis,”sapa Ibu Dika riang.

“Pagiii tante,”jawab kami kompak.

Kami berbicara dengan Ibu Dika dari dekat, terlihat make up yang tidak terlalu tebal dan jelas sekali garis-garis kecantikan pada wajahnya. Rambutnya terurai panjang dan rapi, wajahnya segar dan ceria, sorot matanya menunjukkan luasnya ilmu dan pengalaman yang dimiliki. Gigi putihnya berbaris rapi, ditambah lesung pipit di sebelah kanan menambah cantik bila tersenyum. High heels dengan tinggi 5cm, jam tangan kecil pada pergelangan kirinya, blazer dipadu celana panjang yang sesuai ukuran, membuat Ibu cantik ini terlihat seperti seorang pejabat negara.


“Jangan sungkan ya di rumah Dika yang sederhana ini, bila membutuhkan sesuatu bilang saja sama bibi nanti disiapkan semuanya,”kata Ibu Dika,”tante senang sekali kalian main ke sini, Dika jarang sekali bawa temannya main ke rumah, apalagi teman perempuannya.”


“Siap tante, kita akan sering-sering main ke sini, ya kan teman-teman,”kata Lily mencari dukungan.

Aku memiliki beberapa pertanyaan untuk tante cantik ini, aku bukan penjilat aku hanya ingin mengutarakan apa yang ada di benakku.

“Tante, tante cantik banget, walau pun aku perempuan tapi aku terpesona sama aura tante, aku betah berlama-lama ngeliatin tante yang cantik luar dalam. Tante juga baik, ramah dan murah senyum sama seperti Dika. Tatapan mata tante menunjukkan tante orang yang pintar dan cerdas, aku kagum sama tante, aku ingin seperti tante,”kata ku panjang lebar dengan tatapan kagum.

“Iya cerita-cerita dong tante rahasianya apa?aku juga mau jadi wanita karir seperti tante,”tambah Puspa.

"Kalian ini lucu yah masih polos-polos sekali, tante tidak sehebat apa yang kamu katakan sayang, tante juga manusia bisa seperti kalian, yang punya banyak kekurangan juga kelebihan, oia nama kamu siapa nak?”tanya Ibunya Dika sambil menjawil dagu panjangku.

Bangunlah cinta
airmatamu bercahaya
   di dua pertiga malam                              
(Helvi T.Rosa)

“Kakak..kakak..bangun ka katanya mau sholat tahajud, bangun sayang,”kata Bunda sambil mengguncang-guncangkan tubuh kurusku.

“Iya Bun.. aku sudah bangun,”jawabku sambil menggeliat.

Bunda yang masih mengenakan mukena keluar dari kamarku, mungkin Bunda ingin melanjutkan tilawah dan do’a-do’a panjangnya. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 03.30 dini hari. Aku mengucek-ngucek mata, menguncir rambut, dan berjalan gontai ke arah kamar mandi, mengambil wudhu.


Ku panjatkan do’a yang lama dan panjang memohon-mohon pada Rabb ku agar diterima SBMPTN, aku meminta keputusan yang terbaik menurutNya, keputusan yang bisa membawaku pada kebaikan. Kalau pun Allah menghendaki aku tidak lolos SBMPTN tak mengapa, aku ikhlas. Tapi.. aku ingin sekali lolos SBMPTN Ya Allah..kataku memaksa. Tapi aku akan senang sekali dan bersyukur bila lolos SBMPTN. Tapi..bila Engkau memang menghendaki tidak lolos..aku pasrah, aku sudah melakukan yang terbaik sebisaku. Sudah berusaha dan berdo’a, maka keputusan akhir aku pasrahkan padaMu Ya Rabb. Hanya kepadaMu aku menyembah dan hanya kepadaMu aku meminta.


Hari ini aku, Eca, Ayah, dan Bunda menghadiri wisuda SMA ku. Semua wajah terlihat senang dan gembira, kecuali aku yang masih memikirkan hasil SBMPTN yang baru keluar tadi pagi. Aku lolos SBMPTN tapi pilihan yang kedua di UNPAD bukan di UI. Sepanjang perjalanan ke tempat wisuda, Ayah dan Bunda terus menerus menghiburku, mengatakan bahwa Bandung itu adem, sejuk dan menyenangkan. Pasti asik sekali bila belajar di tempat yang sejuk seperti Bandung. Aku tidak menggubrisnya, aku masih ingin sekali melanjutkan pendidikan di UI.


“Hei..koq melamun sih?” sapa Dika mengagetkanku, ”Happy dong, foto-foto selfie seperti yang lain.

Aku sudah berada di kursi wisuda. Tempat duduk wisuda aku dan Dika bersebelahan karena absen nama kami berurutan. SMA ku menyewa aula hotel yang besar dan megah hanya untuk acara wisuda tingkat SMA. Terlihat Eca jalan bolak balik dengan beberapa temannya demi lancarnya acara, tak sedikit pun menoleh pada kakaknya. Tau deh ketua OSIS yang sibuk.. sombong sekali, gumamku dalam hati wajahku bertambah dua tingkat kejutekannya.  Acara wisuda dimulai, dimulai jugalah obrolan aku dan Dika yang berbuntut panjang kali lebar pangkat dua.

“Dika lolos SBMPTN?”tanyaku membuka obrolan.

“Alhamdulillah lolos ca, HI UI,”jawab Dika tersenyum senang, ”kamu juga diterima kan di UNPAD.”

“Loh koq tau, tau dari mana Dik?”tanyaku penasaran, ”tapi aku maunya di UI Dik. Aku kembali murung

“Eca yang kasih kabar. Asik ca kuliah di rantau bisa berpetualang di negri orang, daerah baru, teman-teman baru, ilmu baru, belajar nge-kos, belajar mandiri. Membayangkannya aja udah bisa kita senyum-senyum sendiri saking asyiknya. Kalau aku selalu di sini saja, dari TK, SD, SMP, SMA, sampai kuliah pun masih daerah Jabodetabek. Aku juga ingin merantau seperti kamu ca, menjelajahi tempat yang belum pernah aku datangi, menemui orang baru dengan adat, dan budaya yang baru ku temui. Kalau aku jadi kamu, aku bersyukur dan dengan senang hati kuliah di UNPAD. Karena tidak semua teman-teman kita seberuntung kita bisa lolos SBMPTN ca. Dari satu kelas, mungkin hanya 5-7 orang yang lolos SBMPTN dan mereka happy-happy saja tidak berwajah masam seperti kamu.”kata Dika memotivasi dengan bersemangat


“Memang sangat kelihatan Dik, wajahku yang cemberut?”tanyaku penasaran.

“Dari pintu masuk sampai detik ini, wajah kamu masih dilipat ca, belum senyum sama sekali,”jawab Dika.

“Hehe,”aku nyengir kuda.

Aku merenungi kata-kata Dika, benar apa yang dikatakan Dika, pandanganku salah karena terlalu fokus pada keinginan dan obsesiku semata. Aku salah, terlalu egois tidak melihat dari sudut pandang teman-teman yang tidak lolos SBMPTN, pasti sedih karena tidak bisa kuliah di Universitas yang di idam-idamkan. Harusnya aku bersyukur karena bisa lolos dari persaingan yang begitu ketat. Harusnya aku juga bergembira seperti teman-teman yang lain, bukankah menampakkan wajah gembira dan ikut gembira kepada saudaranya merupakan salah satu ibadah.


“Ibu dan Ayah kamu datang Dik? ”tanya ku membuka topik baru, ”aku kagum loh sama Ibu kamu yang cantik, anggun, pintar, cerdas, ramah, dan berwibawa. Aku ingin seperti Ibu kamu, menjadi wanita karir yang sukses.

“Iya tapi tidak sholat, mau?”kata Dika dengan sorot mata yang sedih dan kecewa. “Mungkin maksud Allah aku kuliah di dekat rumah karena ingin terus menerus mendakwahi Ibuku agar mau sholat dan belajar untuk menutup auratnya.


Dibalik kesuksesannya sebagai wanita karir Ibuku terlalu menuruti keinginannya, obsesinya, sampai-sampai melupakan kewajibannya sebagai seorang istri, Ayah dan Ibuku bercerai sejak aku SD kelas 3. Ibu memilih melanjutkan S3-nya di luar negri daripada mematuhi perintah Ayah yang ingin Ibu kuliah di Indonesia saja. Cantik dan karir bagus bukan segalanya ca, aku sudah banyak melihat wanita cantik teman-teman Ibu di kantor, mereka muslim tapi ketika azan berkumandang mereka tidak menunaikan sholat. Awalnya aku fikir mungkin mereka sedang berhalangan haid, tapi ternyata banyak dari mereka yang sedang hamil muda. Mereka pesan rujak dan makanan yang pedas kepada office boy, anakku lagi pingin buah yang asam, begitu katanya. Padahal mereka calon Ibu loh bagaimana mereka akan mengajarkan anak mereka mengaji dan sholat bila Ibunya saja tidak memberi contoh dengan baik ketika dalam kandungan.” 

Selain jago basket, Dika juga aktif di eskul Rohis, aku kagum dengan cara berfikirnya, gumamku dalam hati

“Aku malah iri dengan Bunda kamu ca, Bunda kamu adalah Bunda idaman semua anak. Walau berpendidikan tinggi, Bunda kamu lebih memilih mengurus dan membesarkan anak-anaknya daripada bekerja. Bunda kamu memilih taat pada suami dibanding taat pada bos di kantor, Bunda kamu memasak ketika kamu kelaparan, Bunda kamu menjahit ketika ada bajumu yang robek. Dan siapa tau kamu lolos SBMPTN bukan karena usaha dan do’a mu, siapa tau itu karena do’a-do’a yang dipanjatkan Bunda kamu setiap malam, do’a seorang Ibu biasanya lebih mustajab.

Aku kembali merenungi setiap perkataan Dika.

“Sebentar..sebentar..kamu tau semuanya dari mana Dik? Bundaku yang berpendidikan tinggi, Bundaku yang resign setelah melahirkan aku, Bundaku yang pintar memasak dan menjahit, ”tanyaku penasaran.

“Dari Eca, setiap selesai main basket aku suka mampir ke rumahnya, di sana dia selalu cerita tentang Bundanya sampai-sampai aku iri dibuatnya. Eca sangat menyayangi Bundanya, ”kata Dika menjelaskan.

Oh, ternyata Dika dan Eca berteman baik

”Dan aku.."Dika melanjutkan

ingin Ibuku berteman baik bahkan sangat baik dengan Bunda kamu ca, agar tertular juga kesholihannya, agar Ibuku juga mau menutup auratnya, mau kembali sholat, mau belajar Islam. 

Hmm..bagaimana kalau keluarga kita besanan aja ca? Insya Allah aku siap jadi imam kamu ca.” kata Dika mantap.

Aku mencerna lambat ucapan Dika,
besanan.. 
imam..
menikah..

“What?
Maksud kamu kita nikah? ”kata ku setengah teriak


Senyum itu indah
Seindah pelangi di matamu
Tawa itu bernada
Seirama alunan lagumu
Hati itu ceria
Secerah hari yang setia menanti malam
Oh..bahagianya                                     
(siluet senja)

Hai..namaku Ica usiaku 17 tahun, aku baru lulus SMA, dan saat ini sedang dilamar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar