Jumat, 21 Agustus 2015

Resensi novel

Hujan bulan Juni

Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar sapu tangan yang telah ditenunnya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin.

Novel ini bercerita tentang dua dosen muda UI yang saling jatuh cinta. Peran utama bernama Sarwono dosen Antropologi asal kota Solo yang mencintai Pingkan dosen sastra Jepang yang juga asal Solo tapi berdarah Manado. 

Ayah Pingkan asli Manado menikah dengan Ibu Pingkan seorang pendatang asal Solo. Mereka lama tinggal di Manado, sampai-sampai Ibu Pingkan merasa bukan orang Solo lagi. Konon, pak Pelenkahu meninggal ketika Pingkan SD karena penyakit malaria sewaktu bertugas di Ambon.

Pertama kali Sarwono bertemu dengan Pingkan adalah ketika SMA, Sarwono sering main ke rumah Toar yang merupakan kakaknya Pingkan.

Pada suatu perjalanan dinas, Sarwono dan Pingkan pergi bersama ke Manado. Di sana mereka bertemu dengan saudara-saudara Pingkan dari pihak Ayah. Melihat Sarwono, keluarga besar Pelenkahu tidak setuju bila mereka nantinya menikah. Saudara-saudara Pingkan berusaha mempengaruhi Ibu Pingkan dan menjodohkan Pingkan dengan orang lain yang masih berdarah Manado.

Pingkan mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di Jepang. Setibanya di sana ia langsung disibukkan oleh kegiatan kampus. Sarwono pun demikian, ia menyibukkan diri dengan berbagai penelitian mengunjungi berbagai daerah terpencil yang belum terjamah manusia. Mereka berdua masih intens komunikasi via whatsapp, sampai pada suatu ketika Sarwono jatuh sakit dan kondisinya kritis.

Bagaimana kelanjutan kisah dua insan yang saling mencintai akan tetapi berbeda keyakinan ini. Yuk deh beli dan baca novel karya pak Sapardi Djoko Damono. Beliau adalah guru besar UI dan IKJ yang meraih banyak penghargaan dibidang sastra. Ini penampakan novelnya seperti yang dipegang Farah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar